psychopatika
the not so ordinary life of a young-at-heart mother of two and wordsmith

May
31

Masih ingat terasa setahun lalu, pada jam ini, saya sedang menjawab pertanyaan di sebuah diskusi tentang media di Indonesia di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat RSCM Kencana.

Hari itu, 31 Mei 2020 adalah hari di mana kami mendapat kabar dari Prodia kalau Keliek ada dugaan terkena leukemia. Setelah membaca reportnya, saya dan Keliek, diantara bapak saya, langsung berangkat ke RSCM yah untuk mendapat pertolongan segera.

Hari itu merupakan hari terpanjang yang pernah saya rasakan. Dari siang saya menunggu di RS hingga malam. Ingin rasanya waktu itu membatalkan komitmen jadi pembicara, tapi saya butuh sesuatu yang mendistraksi rasa cemas saya. Akhirnya saya pun hadir di acara diskusi tersebut sambil menjelaskan keterbatasan yang saya hadapi saat itu.

Benar saja, sebelum diskusi selesai, saya harus cabut karena dipanggil dokter ke ruangan. Intinya Keliek harus segera dirawat karena kondisi yang lumayan gawat. Saya pun harus menunggu 3 jam lagi sebelum akhirnya Keliek bisa masuk ke ruangan.

Hampir jam 12 malam, Keliek akhirnya sudah bisa masuk ruangan, saya pun izin pulang karena belum bawa apa-apa ketika itu. Sesampainya di rumah, saya tidak bisa tidur. Saya pun minta bobo ditemani bapak dan ibu juga, tapi pikiran ini tetap ke mana-mana dan terus terjaga sampai pagi. Besoknya saya kembali lagi ke rs meski kurang tidur. Perjuangan selama kurang lebih 7 bulan dimulai hari itu.

Mengingat masa-masa itu masih membuat dada ini terasa sesak dan rasa sedih pasti langsung singgah. Sudah jauh-jauh hari saya mempersiapkannya, tapi rasa duka memang selalu datang tanpa permisi. Saya sempat cerita juga pada anak-anak, dan kata Nyala, anak yang masih berusia 5 tahun benar-benar yah…”Keka, gak usah ingat yang sedih-sedih dong, ingat-ingat Pagi dan Nyala saja yah” sambil menatap saya dengan mata bulatnya.

Baiklah, aku coba yah Nyala sayang, itu jawabku.

Hari ini hampir berlalu. Syukurlah hari ini lumayan sibuk juga, dari pagi sampai sore meeting tidak henti, lalu ada deadline mengerjakan proposal. Setelah itu menemani Pagi belajar menghadapi ujian hari Rabu besok.

Kami baru saja menyelesaikan doa rutin malam kami, sebentar lagi bersiap tidur. Saya bersyukur sekali bisa melewati hari ini dengan lumayan baik dan produktif, terima kasih buat Tuhan dan anak-anak yang selalu menemani. Terima kasihku untuk itu.

Apr
30

Beberapa waktu yang lalu ketika sahabatku Priska bilang bahwa ada wawancara BCL terbaru yang membahas bagaimana dia bertahan selepas kematian suaminya yang sangat mendadak, aku pun segera mencarinya di mesin pencari Google dan menontonnya.

Aku ajak Pagi nonton bersamaku. Tentunya sebelum menonton aku beri semacam prolog bahwa BCL ini juga punya anak seumuran dengannya yang juga ditinggal ayahnya.

Kami menonton video itu bersama. Begitu banyak insights yang berharga yang bisa aku dapatkan dari wawancara itu. Mesk diriku memiiliki beberapa stance yang cukup berbeda dengannya, tapi saya sungguh salut dengan kedewasaan pola pikir BCL dalam menghadapi kematian suaminya.

Satu hal yang saya kagumi adalah kepercayaan dirinya dalam menghadapi semuanya sepeninggal almarhum suaminya.

Dengan penuh keyakinan, dia bisa bilang pada suaminya bahwa semua akan baik-baik saja. Dia bisa mengurus Noah (anaknya) sendirian, dan suaminya tidak usah perlu khawatir dan mengatakannys dengan kpercayaan diri yang tinggi.

Aah, andai saja memiliki sedikit saja rasa PD itu.

Jujur, sampai sekarang saya masih merasa diri ini mampu membesarkan dua anak-anak yang relatively masih kecil-kecil sendiri. Dari dulu saya yakin, pekerjaan membesarkan anak itu bukan perkara mudah, dan saya beruntung sekali mempunyai Keliek yang menjadi partner saya selama ini. Bersamanya pekerjaan berat itu terasa enteng dan juga menyenangkan. Tapi sepeninggalnya, saya tidak yakin apakah saya mampu ya. Banyak keraguan dan ketakutan yang muncul. Tidak hanya masalah materi tapi juga emosi. Apakah saya bisa mencukupi semua kebutuhan Nyala dan Pagi? Saya pikir saya orang yang cukup PD selama ini, tapi untuk hal itu, nyali saya masih ciut dan masih belum yakin.

Ketika saya ajak Pagi diskusi tentang hal ini, dengan PD-nya dia bilang: Keka, pasti bisa! Orang lain terkadang lebih percaya diri dengan kemampuan seseorang ketimbang orang itu sendiri :)) doa saya tiap malam adalah meminta pertolongan dari Tuhan untuk memampukan saya dalam membesarkan dua anak yang luar biasa hebat ini hingga mereka dewasa. Amiiiin.

Mar
31

Saya baru menyadari bahwa selama menjalani bulan-bulan terberat dalam hidup saya, buku adalah penolong yang paling dekat dengan saya, bahkan hingga saat ini. Benar-benar paling dekat, soalnya mereka tepat berada di rak buku di samping tempat tidur saya.

Malam-malam ketika saya tidak bisa tidur dengan rasa khawatir yang hilir mudik, dan Keliek di rumah sakit, buku-buku selalu menemani lembur saya. Ketika rasa gelisah menyapa dan mata tidak kunjung tertutup, saya akan ambil buku untuk meredakan sedikit gemuruh di otak saya. Mulai dari novel-novel ringan hingga bacaan-bacaan non fiksi yang beberapa halaman biasanya langsung bikin ngantuk.

Untuk bacaan non-fiksi biasanya saya sangat pemilih sih. Saya harus memastikan bahwa pengetahuan yang ada dalam buku itu bisa berguna dalam hidup saya. Tentunya selain alasan ekonomis yah, buku-buku non fiksi yang bagus biasanya lebih mahal.

Bacaan awal saya ketika awal-awal Keliek di rumah sakit adalah The Emperor of All Maladies karya Siddharta Mukherjee, seorang dokter dan ahli kanker dari Amerika Serikat. Bukunya tebal, subyeknya tidak ringan, tapi untungnya si Mas Siddharta itu adalah pencerita yang handal sehingga membacanya pun enak. Berkat membaca buku itu, saya jadi tahu banyak tentang sejarah kanker dan kemajuan-kemajuan dalam pengobatannya. Lumayan buat amunisi bahan diskusi dengan dokter-dokter yang saya temui. Di buku tersebut juga banyak selipan cerita-cerita personal pasien Mas Siddharta, ada yang menyedihkan, tapi ada juga yang memberi harapan terutama terkait dengan jenis-jenis pengobatan yang ada. Saya cukup optimis bahwa penemuan obat kanker hanya masalah waktu saja. Hanya saja memang Keliek memang tidak cukup beruntung untuk mendapatkannya. Tapi semoga kelak obat kanker segera ditemukan, sehingga tidak ada lagi keluarga yang harus menangis karena kehilangan anggota keluarganya karena kanker.

Selepas Keliek meninggal, saya kemudian mencari buku-buku tentang grief. Pilihan awal saya jatuh pada buku Option B karya Sheryl Sanberg, COO Facebook, yang tiba-tiba diitinggal mati suaminya. Dari buku itu, saya belajar banyak. Kebetulan Sheryl juga punya dua anak yang sama-sama masih kecil, sehingga saya merasa bisa relate dengannya. Khususnya tentang how to deal grief with your children.

Saat ini saya sedang membaca buku yang sangat menarik karena berusaha membahas sisi lain dari rasa duka, persis seperti judulnya The Other Side of Sadness. Buku ini berusaha memberikan perspektif yang berbeda dan sangat menarik berdasarkan riset. Dia bilang jika rasa sedih itu membuat orang lebih aware dengan sekeliliingnya. Dalam sebuah percobaan, orang yang sedang sedih lebih akurat dalam memberi jawaban dan dalam percobaan lain, orang yang bersedih lebih memiliki rasa empati dengan sesamanya. Saya tidak sabar menyelesaikan buku ini.

Tentang menghadapi rasa sedih, saya selalu bilang ke anak-anak. It is okay to be sad and I always encourage them to share whenever they are sad. Meski memang pada kenyataannya, emaknya yang lebih sering menangis. Ada satu kalimat yang saya ulang berkali-kali ke Pagi dari buku The Boy, the mole, the fox and the horse yang sangat indah menurutku. “Tears fall for a reason and they are your strength not weakness”. Saya tahu buku itu dari Eka, sahabat saya dan manisnya dia dan teman-teman kuliah kemudian patungan membelikan buku itu buat saya. Buku yang saya selalu baca berulang-ulang ketika saya tidak bisa tidur. Kalimat-kalimat pendek di dalamnya serasa mantra yang bisa menenangkan gundah gulana dalam diri.

Selain buku-buku “berat” saya pun melahap beberapa novel ringan, apa saja yang bisa membantu saya mengundang rasa kantuk. Salah satunya adalah koleksi Lima Sekawan yang saya punya, lalu juga buku-buku Agatha Christie yang ada di Kindle.

Pagi sendiri memiliki ketertarikan dengan topik grief. Dia sedang berusaha membaca buku Option B, meski seringkali harus tanya ini dan itu. Sewaktu ayahnya meninggal, Pagi kemudian menunjukkan saya buku Puno (Letters to The Sky), karya Ria Papermoon yang diberikan sahabat saya Virtri. It is such a beautiful book about losing. Pagi bilang bahwa dia merasa lebih baik ketika membaca buku itu. Saya juga baru saja memberikan Pagi dan Nyala buku yang berjudul The Invisible String yang bercerita tentang tali yang tidak terlihat tapi mampu menghubungkan kita dengan orang-orang tersayang di manapun mereka berapa.

Mungkin saya bukan orang yang ekspresif dan bisa saja menceritakan segala sesuatu, beban dan kegelisahan saya dengan nyaman kepada siapapun, termasuk orang-orang terdekat. Buku kemudian menjadi tempat pelarian dan juga pelampiasan ketika saya mati kutu ketika ingin menumpahkan seluruh perasaan lewat tulisan.

Saat ini saya juggling tiga buku sekaligus. Saya baru melakukan hal ini, biasanya saya menghabiskan satu buku dulu baru baca buku selanjutnya. Lumayan jika yang satu tidak mempan bikin ngantuk, bisa lanjut ke buku selanjutnya.

Feb
28

Rasanya masih tidak karuan. Dua minggu pertama hampir tidak pernah alpa menangis.

Ketika sudah kembali bekerja, aku merasa tidak apa-apa. Kesibukan bisa membuat pedih yang kurasakan lengah, meski ketika semua selesai dan layar laptop mati, rasa kosong kembali muncul dan duka menyusup pelan-pelan. Setiap Selasa malam, sedihnya menjadi-jadi.

Setiap malam masih saja selalu terbangun. Untung ada Kindle yang siap menjadi pengantar bobo yang jitu.

Besok pagi, ritual pun kembali dimulai.

Meeting, memimpin rapat, berkoordinasi, mengedit, wawancara, menulis bahkan tidak menyangka bisa membawakan satu hari pelatihan dengan lancar. Puji Tuhan banget. Meski begitu selesai, rasanya pengin nangis aja.

Entah sampai kapan yah.

Jan
31

Di usia hampir kepala empat, saya merasa butuh ekstra keras untuk menjalin pertemanan baru. Tapi tak terduga, saya mendapatkan teman baru di saat dan waktu yang tidak terduga.

Saya memanggilnya Mbak Ely.

Kami dipertemukan di ruang UGD RS MRCCC Siloam Semanggi tanggal 23 Desember.

Saya melihatnya sedang berdiri menunggu ruang rawat inap untuk suaminya. Ruang UGD memang bukan tempat ideal bagi penunggu pasien. Tidak ada kursi buat penunggu, yang ada hanya tempat tidur untuk pasien, jadi penunggu hanya bisa berdiri, atau numpang taruh pantat di tempat tidur pasien.

Kala itu saya beruntung. Saya sudah semalaman di ruang UGD dan berhasil mengamankan satu kursi yang nganggur di sana.

Ketika itu saya melihat Mbak Ely menunggu suaminya yang baru masuk ke ruang UGD. Saya yang baru bangun dari tidur ayam saya pun merasa iba melihatnya yang hanya berdiri saja. Saya pun menawarkan kursi singgasana saya. Dia pun mengucapkan terima kasih. Tak berapa lama dia pun tertunduk di kursi itu, entah mengantuk atau berdoa.

Lalu suster datang menghampirinya mengatakan suaminya akan segera naik ke ruang rawat inap. Segera dia menghampiri saya dan mengembalikan kursi yang dia pinjam. Percakapan pun tak terelakkan. Saya bertanya siapa yang sakit dan apa sakitnya. Ternyata Mbak Ely bernasib sama dengan saya, suami kami sama-sama kena leukemia akut.

Suaminya baru divonis mengidap leukemia bulan Oktober lalu dan dia segera membawanya kemarin karena infeksi di perutnya yang semakin parah.

Sontak saya memeluknya. Saya merasa seperti mendapatkan teman yang tahu benar apa yang saya rasakan selama 7 bulan ini.

Mbak Ely dan suaminya Mas Deddy juga punya dua anak yang masih kecil-kecil. Dia bercerita, selama sakit, mereka menitipkan anak-anak mereka ke orang tuanya. Di akhir pertemuan, kami pun sepakat untuk saling memberi semangat.

Esoknya kami pun sering ngobrol lewat whatsapp atau janjian di area sekitar rumah sakit, guna berbagi lelah dan cerita setelah seharian menemani suami. Meski urusan rumah sakit tidak pernah habis, saya selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengannya. Biasanya kami bertemu di ruang tunggu UGD, lobby rumah sakit atau ruang tunggu ICU karena tidak berapa lama, suami Mbak Ely harus dipindah ke ICU.

Ketika bertemu, tidak hanya kami berbagi cerita tentang keluarga kami masing-masing tapi juga berbagi beban. Selama 10 hari tak putus-putus kami berkomunikasi, memberi motivasi, semangat, dan saling mendoakan. Mbak Ely menjadi teman saya yang memberikan harapan di tengah-tengah situasi yang tidak mudah. “Tetap semangat buat anak-anak, ya Mbak,” itu adalah mantra kami berdua yang kami ucapkan ketika hendak berpisah.

Namun pada tanggal 2 Januari, sebuah pesan singkat datang ke whatsapp saya pagi itu dari Mbak Ely : “Suamiku meninggal,” langsung saya pamit ke Keliek yang untungnya sudah rapih dan tinggal menunggu sarapan datang untuk pergi menjenguk Mbak Ely di ruang tunggu ICU.

Ketika datang, saya melihatnya duduk lesu di pojok ruang tunggu ditemani kakaknya yang selalu menemaninya selama ini. Wajahnya tampak tegar. Begitu dia melihat saya, kami pun langsung berpelukan. Rasa kehilangannya adalah rasa kehilangan saya. Saya tidak sempat merangkai kata-kata penghibur, hanya mantra, “Tetap semangat Mbak buat anak-anak” yang kuulang-ulang sambil terus-terusan menggenggam tangannya.

Siang itu, Mbak Ely akhirnya pulang ke rumahnya bertemu kembali dengan anak-anaknya meski dengan membawa jenazah suaminya.

Sedangkan saya masih harus menunggu di rumah sakit, meski saya tidak mengira bahwa saya harus melakukan hal yang sama tiga hari kemudian.

Dec
27

Semenjak akhir Mei, kunjungan rumah sakit menjadi sesuatu yang rutin dalam kehidupan saya.

Penyakit Keliek yang membutuhkan perawatan intensif membuat saya menjadi pengunjung tetap rumah sakit.

Leukemia membutuhkan perawatan yang intensif. Beda dengan jenis kanker lainnya yang bisa melakukan kemoterapi hanya beberapa hari saja, penderita leukemia bisa dirawat hingga sebulan di rumah sakit untuk sekali kemoterapi.

Mau tidak mau, sebagai carer, saya yang harus selalu menemani Keliek dalam perawatannya, harus kerap setor diri ke rumah sakit. Awalnya saya harus menemaninya untuk menginap di rumah sakit, tapi perawatannya yang membutuhkan ruang steril dan mengharuskannya rawat inap sendiri, membuat saya paling mengunjungi 2-3 hari sekali hanya sekadar untuk bertukar kabar lewat jendela pintu, menemui dokter dan mengambil cucian kotor.

Selebihnya saya ke rumah sakit ketika Keliek harus konsultasi atau mengurus BPJS.

Wajah-wajah asing menjadi begitu familiar, sapaan tiba-tiba di rumah sakit pun tidak terhindarkan, dari dokter, pasien lainnya, keluarga pasien, bahkan hingga petugas kebersihan.

Bersyukur sekali kami bisa berada di rumah sakit ini, meski dengan segala keterbatasannya, Keliek masih bisa menjalani perawatan dengan nyaman.

Saat-saat terberat adalah ketika Keliek harus di ICU. Selama dua minggu, saya harus bolak-balik ke Rumah Sakit hampir tiap hari untuk jaga-jaga apabila ada kabar terbaru tentang kondisinya.

Bersama-sama dengan keluarga pasien lain, saya berdiam dalam ruang tunggu berdinding kaca yang bisa dengan jelas melihat jalan jendral sudirman dari ketinggian lantai 29.

Suasana sedih tak terelakkan ketika ada keluarga yang mendapatkan kabar duka begitu dipanggil dokter. Saya yang tidak mengenal mereka pun ikut merasakan kehilangan itu. Beberapa hari di ICU, saya pun mulai berkenalan dengan beberapa keluarga pasien di sana, berbagi cerita dan semangat untuk bisa sama-sama kuat dalam menjalani semua ini.

Semua itu pengalaman baru yang saya berharap tidak pernah saya alami lagi. Rasa cemas, gelisah, dan penuh syukur selalu datang silih berganti membawa saya dalam roller coaster emosi yang sangat melelahkan.

Dan pada 22 Desember yang lalu, saya harus membawa Keliek ke UGD karena kondisinya drop. Di masa pandemi ini, setiap pasien harus menunjukkan tes PCR negatif terlebih dahulu sebelum bisa masuk rawat inap. Jadinya saya dan Keliek harus tidur di UGD dulu sebelum masuk ke ruang rawat inap. Bunyi mesin-mesin non-stop membuat saya tidak bisa tidur, apalagi memang tidak ada space untuk tidur.

Tapi di tengah-tengah kelelahan dan rasa penantian itu, saya bertemu dengan teman-teman baru. Ada dokter yang baik sekali dan berharap lain kami bisa ketemuan di Star Buck bukan di rumah sakit. Lalu ada perawat yang tampak selalu riang meski pasien IGD ada yang rewel dan susah diatur. Saya pun bertemu dengan Mbak Ely yang suaminya juga divonis mengidap leukemia bulan Oktober lalu. Hingga saat ini, kami selalu ngobrol di whatsapp, menanyakan kabar, update suami, atau janjian ketemuan di selasar rumah sakit hanya untuk berbagi beban dan cerita.

Cerita rumah sakit ini merupakan babak berat dalam hidup saya ketika harus menghadapi banyak ketidakpastian di sana, tapi saya berharap ada segelintir harapan muncul dari pertemuan-pertemuan dengan orang asing yang akan membawa saya ke akhir cerita yang indah.

Nov
30

Jatuh sakitnya Keliek praktis membuat hidupku berhenti berputar. Emosi, pikiran dan tenaga semua tercurah untuk memikirkan Keliek dan anak-anak. Kehidupan tidak lagi berputar di aku. Semua terasa berhenti. Semua yang kulakukan hanyalah rutinitas yang harus kujalani menit demi menit. Bangun, ke rumah sakit, bekerja, menemani Pagi sekolah, bermain dengan Nyala, makan, minum, istirahat, tidur, dan kembali bangun.

Menulis sebagai aktivitas yang paling membuatku hidupku terabaikan. Mengolah kata-kata rasanya berat sekali. Postingan tiap bulan pun berasa hanya kewajiban (termasuk yang ini sih, yang ditulis mepet sebelum ganti bulan hehehe).

Tapi senang akhirnya aku bisa “memaksakan” diriku untuk bisa menulis kami. Perlahan-lahan mulai menata diri. dan mencoba memutar kehidupan kembali. Pelan-pelan.

Oct
30

Bagaimana dirimu membicarakan kematian dengan seorang anak berusia 9 tahun?

Topik itu datang tidak diundang sore tadi ketika saya mendengar kabar bahwa seorang teman di SMA meninggal dunia.

Pagi langsung melontarkan rentetan pertanyaan ketika saya membagi kabar itu. “Siapa yang meninggal? karena apa meninggalnya?…”

Saya jawab semua pertanyaannya. Hingga tiba-tiba ketika kami sedang leyeh-leyeh di tempat tidur, dia bertanya:

“Keka, kira-kira Akung Bapak (kakeknya yang sudah meninggal) sekarang di mana yah?”

Sedikit kaget, saya mencoba menjawab “Mmm…di surga,” jawab saya.

Saya tidak tahu apakah Pagi menangkap ada sedikit rasa ragu dalam jawaban saya.

Banyak orang berdebat apakah kehidupan setelah kematian itu ada, apa surga itu ada. Ketika kita berbicara bukti, mungkin banyak orang masih meragukan apakah benar ada surga. Tapi untuk orang yang sangat rasional seperti saya, jawaban itu memberikan sedikit penghiburan dan pengharapan.

Membayangkan bahwa orang-orang terkasih dan tersayang berada di tempat yang menyenangkan tanpa ada rasa sakit dan air mata adalah sebuah harapan yang tak terucap dalam jawaban saya pada Pagi. Saya harap Pagi juga dapat menangkapnya.

“Kalau menurut Pagi, memang di mana?”

“Akung Bapak ada di sini bersama kita. Nanti kalau dia mau ketemu sama Akung Mamah (yang tinggal di Yogya), dia bisa pergi ke sana,”

“Jadi mmm…kayak punya super power gitu yah?”

“Iya,” jawabnya sambil tersenyum dengan mata lebarnya.

Untuk pertama kalinya, saya melihat kematian sebagai bukan sesuatu yang menakutkan.

Sep
30

Pengalaman empat bulan terakhir ini memberiku banyak kesempatan untuk belajar banyak hal baru. Salah satu yang paling tidak mudah adalah proses belajar yang memaksa aku untuk melihat ulang semua kebiasaan, prinsip, dan nilai hidup yang selama ini kuyakini.

Sampai detik ini aku pun mengalibrasi semuanya dengan apa yang kuhadapi saat ini. Ini sangat tidak mudah, apalagi pada saat yang bersamaan aku juga harus memikirkan orang lain.

Aku berharap dengan menuliskannya dapat membantu mempermudah proses ini.

Berikut adalah beberapa tantangan tersebut

  1. Pasrah

Sebagai seseorang yang mengaku murid Tuhan Yesus, bersikap pasrah seharusnya jadi hal yang mudah yah. Tapi tidak bagi saya. Bagi orang yang sangat control freak, saya merasa lebih tenang jika kendali ada di saya. Keadaan menjadi lebih baik jika saya tahu apa yang harus saya lakukan atau setidaknya antisipasi apa yang harus saya siapkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Saya mencoba melakukannya di awal-awal ketika keliek di rumah sakit. Tapi akibatnya semua terasa berat dan saya tidak bisa tidur berhari-hari karena begitu banyak yang harus saya pikirkan sementara variabel masalah yang ada tampak tak terhingga.

Banyak juga selalu mengatakan pada saya untuk berserah saja pada yang di atas. Awalnya saya hanya mengiyakan saja tanpa benar-benar melakukannya, hingga suatu malam, ketika saya tidak kunjung juga mampu menutup mata sementara rasa capek begitu menumpuk, saya pun berucap, “Tuhan, saya serahkan semua ke dalam tanganMu saja, karena saya yakin dirimu pasti memberikan yang terbaik,” dan menutup mata hingga akhirnya bisa tertidur.

Untuk bisa dalam kondisi seperti itu adalah perjuangan tiap hari bagi saya. Saya masih belajar untuk bisa berserah.

2. Hidup untuk saat ini

Sebagai pemimpi, saya suka merencanakan banyak hal. Bukan rencana yang rigid dan pasti, tapi senang bisa rasanya bisa membayangkan apa yang saya inginkan tahun depan dan berusaha mewujudkannya tentunya.

Saat ini kebiasaan merencanakan segala sesuatu jauh-jauh hari begitu menyiksa saya. Begitu banyak hal yang tidak bisa dipastikan, saya hanya bisa menunggu dan berserah saja.

Saat ini begitu banyak rencana saya terbengkalai. Rencana tahun depan, lima tahun lagi bahkan rencana minggu depan tidak ada dalam bayangan saja.

“Coba mikir apa yang terjadi 10 jam ke depan,” ujar seorang teman. Awalnya sulit, tapi itu yang membantuku untuk bisa melewati hari yah. Hidup dan nikmati apa yang ada saat ini.

3. Terbuka untuk banyak orang

Saya bukan tipe yang gampang berbagi, apalagi ketika ada masalah. Saya cenderung menutup diri ketika merasa kesulitan. Saya hanya membaginya pada orang-orang terdekat saja, itu pun saya masih sering memilih-milih.

Sewaktu pertama Keliek dirawat, untuk pertama kalinya sejak dari awal saya mencoba membagi masalah ini dengan banyak orang. Saya sadar saya tidak mampu menanggungnya sendiri. Saya juga meminta tolong beberapa pihak untuk membantu dari awal. Tapi memang tidak semua orang bisa membantu. Sedih dan kecewa memang, mungkin itu salah satu alasan mengapa saya begitu tertutup ketika ada masalah.

Ketika begitu menyadari begitu banyak teman dan sahabat yang peduli pada Keliek, saya pun haru. Tapi tetap untuk membalas pesan wa yang sekadar menanyakan kabar atau progress, butuh waktu berhari-hari untuk membalasnya. Apalagi ketika orangnya tidak kenal dekat yah. Terkadang pertanyaan itu datang pada kondisi di mana saya juga masih memproses apa yang sedang terjadi. Atau terkadang pesan itu datang ketika tidak ada kabar baik yang bisa dibagi. Menyusun pesan di wa terkadang begitu berat. Tangis saya bisa menjadi-jadi ketika hanya membalas wa.

Terkadang ketika kondisi sangat berat dan dada ini sesak, saya bisa dengan spontan menelpon pihak-pihak yang saya pikir nyaman untuk berbicara.

Saya masih berproses sampai detik ini untuk berserah, menikmati apa yang ada, dan membagi kesedihan saya dengan orang lain. Tuhan, mampukan saya.

Aug
31

Writing heals, kata banyak orang.

Banyak sekali orang yang menganjurkan untuk menulis semua yang kualami saat ini sebagai upaya untuk melawan kesedihan dan merawat kewarasan.

Tapi sampai detik ini, aku masih tidak kuasa menyusun kata-kata untuk berbagi tentang apa yang terjadi pada keluargaku tiga bulan belakangan.

Aku bisa dengan lantang mengucapkan, “Suami saya sakit leukimia,” begitu dokter atau orang asing yang bertemu di rumah sakit bertanya.

Tapi entah kenapa, saya merasa belum sanggup menuliskan lebih dari itu di kertas.

Saya suka sekali menulis, tapi entah topik ini masih membuat saya mati kutu.

Kata-kata yang saya untai dalam pesan singkat di ponsel masih sering kali membuat saya menangis. Apa lagi tulisan panjang. Pasokan emosi saya masih belum cukup untuk menghadapinya.

Entah sampai kapan saya bisa merangkai kata-kata dengan perasaan nyaman dan damai. Mungkin saya masih dengan bergumul dengan apa yang terjadi saat ini dan belum bisa dengan sepenuhnya memproses semua ini dengan rasio.  Ketika semua tidak masuk akal, bagaimana saya bisa menuliskannya.  Ataukah ini saatnya saya menanggalkan logika saya? tapi bagaimana menulis tanpa logika.

Duh, buntu lagi ini.